Definisi taksonomi adalah ilmu untuk menggolong-golongkan makhluk hidup (Mayr et al., 1953). Lebih lanjut, Simpson (1961) mendefinisikan taksonomi sebagai suatu kajian teoritik tentang penggolongan, termasuk di dalamnya dasar-dasar, prinsip, cara kerja dan aturan-aturan yang berlaku. Sementara Evans (1984) menyatakan bahwa taksonomi juga mencakup penemuan pola-pola yang ada di dalam suatu keanekaragaman. Sistematika didefinisikan sebagai kajian keilmuan dari jenis-jenis dan keragaman makhluk hidup dan sebagian atau semua hubungan yang terjadi di antara mereka (Simpson, 1961). Pada perkembangannya, kata taksonomi dan sistematika sering digunakan sebagai padanan, dengan pengartian yang sama. Klasifikasi didefinisikan sebagai cara atau kerangka kerja yang digunakan untuk menemukan pola-pola tertentu dalam suatu keanekaragaman. Kata klasifikasi terkadang disamaartikan dengan kata identifikasi yang didefinisikan sebagai kegiatan untuk mengenali spesies atau jenis makhluk hidup.
Sebagai salah satu cabang ilmu hayati (biologi), taksonomi dan sistematika dianggap mempunyai peran penting, terutama sebagai alat (tool) pengenal spesies makhluk hidup. Oleh karena itu, taksonomi dan sistematika tidak dapat berdiri sendiri, namun membutuhkan peran ilmu lain, misalnya morfologi, anatomi, genetika, ekologi dan fisiologi. Taksonomi dan sistematika juga dikaitkan dengan “perjalanan hidup” atau sejarah suatu jenis makhluk hidup (lazim disebut filogeni), termasuk hubungannya dengan faktor-faktor di luar tubuhnya (Evans, 1984). Mackerras (1979) merinci beberapa pertanyaan yang mungkin mengikuti penemuan spesies baru, yaitu (1) darimana asal tetuanya, dan (2) bagaimana hubungan tetua makhluk tersebut dengan spesies yang lain (misalnya kedekatan genetik). Uraian Mackerras ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa suatu jenis makhluk hidup selalu terkait dengan faktor-faktor abiotik dan biotik di sekitarnya. Arnett dan Jacques (1985) kemudian juga menyatakan bahwa variasi genetik pada perkembangan suatu jenis makhluk hidup dapat dipengaruhi oleh faktor genetik di makhluk hidup (internal) dan lingkungan (eksternal) yang saling berkaitan. Hal-hal tersebut yang kemudian membentuk sebuah “keanekaragaman” di dalam “keseragaman” satu jenis makhluk hidup, misalnya dengan terbentuknya varian spesies berdasarkan daerah penyebaran, dan sebagainya. Menurut Sinnot et al. (1958), tidak ada dua individu, bahkan dalam satu spesies, yang sama persis. Perbedaan tersebut disebabkan oleh faktor makanan, suhu, cahaya, kelembaban dan faktor-faktor eksternal lain.
Selanjutnya, konsep adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya banyak dikaitkan dengan genetika, dan diyakini berpengaruh nyata terhadap pembentukan kelompok makhluk hidup “baru” dalam satu spesies. Konsep takso-genetika ini dijelaskan oleh Daly et al. (1978), yaitu bahwa pemisahan suatu kelompok makhluk hidup dari kelompok yang lain dalam spesies yang sama oleh perbedaan kondisi geografis akan menyebabkan pengkhususan terhadap kelompok yang terpisah tersebut.keanekaragaman organisme tersebut selanjutnya dipelajari oleh disiplin ilmu sistematika. Sistematika mempelajari tentang keanekaragaman organisme serta hubungan kekerabatannya.
Singh (1999) menjelaskan bahwasanya sistematika memiliki tujuan untuk mengembangkan klasifikasi yang berdasarkan pada perbedaan kriteria serta metode yang dipergunakan untuk analisis data. Terdapat dua metode berbeda yang digunkana untuk menentukan klasifikasi organisme, yaitu fenetik (numerik) dan filogenetik (kladistik).
Metode Fenetik
Sokal & Sneath (1963) mendefinisikan taksonomi numerik (taksonometri) sebagai metode kuantitatif mengenai kesamaan atau kemiripan sifat antar golongan organisme, serta penataan golongan-golongan tersebut melalui analisis kluster ke dalam kategori takson yang lebih tinggi atas dasar kesamaan tersebut. Taksonometri didasarkan atas bukti-bukti fenetik, yaitu kemiripan yang diperlihatkan objek studi yang diamati dan dicatat, dan bukan berdasarkan kemungkinan perkembangan filogenetiknya.
Terdapat lima kegiatan dalam taksonometri yang diawali dengan pemilihan objek studi yang mewakili golongan organisme tertentu, yang selanjutnya disebut OTU (Operational Taxonomy Unit). Kegiatan berikutnya adalah pemilihan karakter, pengukuran kemiripan, analisis kluster, dan penarikan kesimpulan (Tjitrosoepomo, 2005).
Pengukuran kemiripan pada OTU berdasarkan karakter yang dimilikinya. Menurut Sokal & Sneath (1963), karakter yang digunakan sebagai identifikasi OTU merupakan deskripsi terhadap bentuk, struktur, atau sifat yang membedakan sebuah unit taksonomi dengan unit lainnya.
Setiap karakter memiliki nilai yang dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Karakter yang berkaitan dengan bentuk dan struktur merupakan karakter kualitatif. Sedangkan arakter yang mendeskripsikan ukuran, panjang, dan jumlah merupakan karakter kuantitatif. Secara umum, karakter kualitatif lebih berguna dalam membedakan taksa pada tingkat taksonomi yang lebih tinggi. Sementara karakter kuantitatif banyak digunakan untuk membedakan kategori taksonomi pada tingkatan yang lebih rendah (Singh, 1999).
Metode Filogenetik
Filogenetik adalah studi yang membahas tentang hubungan kekerabatan antar berbagai macam organisme melalui analisis molekuler dan morfologi. Karakter morfologi telah banyak digunakan dalam banyak penelitian filogenetik. Dengan pesatnya perkembangan teknik biologi molekular, seperti PCR dan pengurutan DNA, penggunaan urutan DNA dalam penelitian filogenetik telah meningkat pesat dan telah digunakan pada semua tingkatan taksonomi, misalnya famili, marga, dan spesies.
Filogenetik molekuler mengkombinasikan teknik biologi molekular dengan statistik untuk merekonstruksi hubungan filogenetik. Pemikiran dasar penggunaan sekuen DNA dalam studi filogenetik adalah bahwa terjadi perubahan basa nukleotida menurut waktu, sehingga akan dapat diperkirakan kecepatan evolusi yang terjadi dan akan dapat direkonstruksi hubungan evolusi antar kelompok organisme.
Sekuen DNA telah menarik perhatian para praktisi taksonomi dunia untuk dijadikan karakter dalam penelitian filogenetik karena beberapa fakta. Pertama, sekuen DNA menawarkan data yang akurat melalui pengujian homologi yang lebih baik terhadap karakter-karakter yang ada. Kedua, sekuen DNA menyediakan banyak karakter karena perbedaan laju perubahan basa nukleotida di dalam lokus yang berbeda adalah besar. Dan ketiga, sekuen DNA telah terbukti menghasilkan hubungan kekerabatan yang lebih alami (Nei, 1996).
Analisis filogenetik merupakan proses bertahap untuk mengolah data sekuen DNA atau protein sehingga diperoleh suatu hasil yang menggambarkan estimasi mengenai hubungan evolusi suatu kelompok organisme. Ada sejumlah asumsi yang harus diperhatikan sebelum menggunakan analisis sekuen DNA atau protein, diantaranya yaitu (1) sekuen berasal dari sumber yang spesifik, baik dari inti, kloroplas, atau mitokondria; (2) sekuen bersifat homolog (diturunkan dari satu moyang); (3) sekuen memiliki sejarah evolusi yang sama; dan (4) setiap sekuen berkembang secara bebas. Paling sedikit ada tiga tahap penting dalam analisis filogenetik, yaitu sequence alignment, rekonstruksi pohon filogenetika, dan evaluasi pohon filogenetika dengan metode statistik (Cavalli-Sforza, 1997).
Disadur dari : http://dunia-science.blogspot.co.id/2012/05/taksonomi-pendekatan-fenetik-dan.html pada tanggal 21 April 2016, jam 12.30